JAKARTA, KOMPAS.com — Dalam sebuah wawancara khusus dengan harian Kompas pada 1995 seperti dilansir Kompas.id, pendiri Sinarmas Group, Eka Tjipta Widjaja, mengaku, bisnisnya benar-benar moncer saat Orde Baru. Bahkan, ia menyebut masa itu sebagai “pemberi kesejukan usaha”. Namun, sebelum mencapainya, Eka harus jatuh bangun menjalankan berbagai macam bisnis yang ditekuninya. Setelah tamat sekolah dasar, Eka mulai menjajakan biskuit dan kembang gula berkeliling kota Makassar. Dalam dua bulan, ia mampu memperoleh laba Rp 20, jumlah yang cukup besar kala itu. Sebab pada saat yang sama, harga beras masih 3-4 sen per kilogram. Namun, bisnisnya hancur ketika Jepang menyerbu Indonesia dan masuk ke Makassar.
Namun, Eka tak tinggal diam. Eka beralih berbisnis terigu, semen, gula, dan barang kebutuhan lainnya yang diperoleh setelah tentara Jepang takluk. Barang-barang tersebut sebelumnya dibuang mereka yang tengah menawan tentara Belanda di wilayah Paotere, sebuah wilayah di pinggir Makassar. Dalam kondisi perang, barang-barang kebutuhan seperti itu adalah persediaan yang langka. Tak heran jika ia berhasil mendulang keuntungan besar. Terigu, misalnya, yang semula hanya Rp 50 per karung, ia jual Rp 60 dan akhirnya Rp 150. Untuk semen, ia jual Rp 20 per karung kemudian Rp 40. Saat itu, ada seorang kontraktor yang hendak membeli semen miliknya untuk membuat kuburan orang kaya. Namun bukannya menjualnya, Eka justru beralih profesi sebagai kontraktor pembuat kuburan. Ia bayar tukang Rp 15 per hari ditambah 20 persen saham kosong untuk mengadakan pembuatan enam kuburan mewah. Ia mulai dengan Rp 3.500 per kuburan dan yang terakhir membayar Rp 6.000.
Setelah semen dan beton habis, ia berhenti sebagai kontraktor. Lini bisnis berikutnya yang diincar adalah kopra. Tak hanya berdagang, Eka bahkan rela berlayar ke sejumlah daerah untuk mendatangi sentra-sentra kopra agar mendapatkan barang yang lebih murah. Ia pun nyaris mendulang untung besar. Pasalnya, Jepang mengeluarkan aturan jual beli minyak kelapa dikuasai Mitsubishi yang dibeli seharga Rp 1,80 per kaleng. Padahal, harga di pasaran Rp 6 per kaleng. Eka pun mencari peluang lain dengan berjualan gula, teng-teng, wijen, hingga kembang gula. Namun, ketika usahanya mulai moncer, harga gula jatuh dan menyebabkan ia rugi besar. Bahkan, modalnya habis dan ia berutang. Eka bahkan harus menjual jip, sedan, perhiasan keluarga termasuk cincin kawin untuk melunasi utang-utangnya. Tapi bukan Eka namanya jika berputus asa. Ia pun memulai bisnis baru meski harus jatuh bangun.
Seperti pada 1950, saat itu ada Permesta. Barang dagangannya, terutama kopra, habis dijarah oknum Permesta. Orde Baru Pada masa Orba, perubahan besar terjadi. Di bawah kuasa tangan dinginnya, ia mampu membenahi aneka usaha yang tadinya bukan apa-apa menjadi ada apa-apanya. Kota Deltamas, Cikarang, Jawa Barat. Kota Deltamas, Cikarang, Jawa Barat. Seperti Tjiwi Kimia, yang dibangun pada 1976. Pada 1978 perusahaan tersebut dapat memproduksi 10.000 ton kertas. Namun, pada 1995 produksi perusahaan itu dipacu menjadi 600.000 ton kertas. Kemudian pada medio 1980-1981, ia membeli perkebunan kelapa sawit seluas 10.000 hektar di Riau, serta mesin dan pabrik berkapasitas 60.000 ton. Tak hanya itu, Eka juga membeli perkebunan dan pabrik teh seluas 1.000 hektar berkapasitas 20.000 ton. Pada 1982, ia membeli Bank International Indonesia (BII).
Semula, bank tersebut hanya memiliki dua cabang dengan aset Rp 13 miliar. Setelah 12 tahun dipegang, cabangnya bertambah menjadi 140 cabang dengan aset Rp 9,2 triliun. Selain itu, ia juga membeli PT Indah Kiat yang memulai produksi awal pada 1984. Awalnya produksinya hanya 50.000 ton per tahun. Sepuluh tahun kemudian, produksinya melonjak drastis menjadi 700.000 pulp per tahun dan 650.000 ton kertas per tahun. Tak puas sampai di sana, Eka melebarkan sayap usahanya ke bisnis real estate dengan membangun ITC Mangga Dua, ruko, apartemen lengkap dengan pusat perdagangan. Sementara di Roxy ia membangun apartemen Green View, dan di Kuningan membangun Ambassador. Di Bekasi, Eka memiliki proyek Kota Deltamas lengkap dengan kawasan industri Greenland International Industrial Center, dan Grand Wisata.
Karena keuletannya tersebut, pada 2018 lalu majalah Globe Asia menempatkannya sebagai orang terkaya kedua di Indonesia dengan kekayaan mencapai 13,9 miliar dollar AS. Kisah di atas hanyalah nukilan dari sejarah panjang hidupnya. Eka kemudian populer sebagai salah satu taipan dengan bisnis menggurita. Sabtu (26/1/2019) pukul 19.43 WIB, adalah saat terakhir Eka Tjipta menyaksikan imperium bisnisnya. Baca juga: Eka Tjipta, Orang Terkaya Ketiga Indonesia, Tutup Usia Ia mengembuskan napas terakhirnya pada usia 98 tahun dan jenazahnya disemayamkan di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. “Iya betul Pak Eka meninggal dunia,” kata Managing Director PT Sinarmas Land Dhonie Rahajoe dalam pesan singkat, Sabtu (25/1/2019) malam.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com.
Penulis : Dani Prabowo
Editor : Hilda B Alexander